🐙 Cerita Sejarah Majapahit Sandyakala Rajasawangsa

SandyakalaRajasawangsa, sebuah epos tentang cikal kerajaan besar nusantara: Majapahit. Ditulis oleh penulis kawakan, novel ini adalah salah satu rekam sejarah sepenggal perjalanan bangsa ini. Serial Majapahit, Sandyakala Rajawangsa, Langit Kresna Hariadi. 129000. 109650. Beli Buku Ini . Description Keris itu berdiri tegak. Berpasang-pasang mata menatapnya terkesima. Bukan hanya karena mereka mengenalinya sebagai keris Empu Gandring yang selalu membawa kutukan maut. Tetapi karena mereka sangat yakin, telah memusnahkannya dalam gelegak kawah Gunung Penanggungan. puluhan tahun yang lalu. Kegelisahan menyergap. Pertanda apakah ini? Di pelupuk mata setiap prajurit, bayang-bayang peperangan mulai membayang. Sekali lagi, banjir darah bakal tertumpah di bumi Singasari. Sandyakala Rajasawangsa, sebuah epos tentang cikal kerajaan besar nusantara Majapahit. Ditulis oleh penulis kawakan, novel ini adalah salah satu rekam sejarah sepenggal perjalanan bangsa ini. Serial Majapahit, Sandyakala Rajawangsa, Langit Kresna Hariadi 129000 109650 Beli Buku Ini Untuk memimpin tanah seluas Nusantara ini diperlukan seorang kesatria yang berwibawa, bermartabat. Punya harga diri, dan mempunyai keberanian laksana seekor singa. Kesatria itu harus tak tergoyah karena mempunyai penyangga yang kuat. Jalan Tengan Beruas Delapan, itulah penyangganya yang terdiri dari pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian benar, daya upaya benar, perhatian benar, dan bersemadi benar. Setyo Wardoyo via Kertanegara, The Rise of Majapahit Arok Dedes membangkitkan minat saya kembali untuk menyusuri sejarah Dinasti Rajasa. Tapi selepas Arok Dedes, saya kok rada males langsung lompat ke Gajah Mada. Lah, jauh bener! Pengennya baca selanjutnya sih masa pemerintahan Anusapati, Tohjaya, lalu Ranggawuni dan Mahisa Cempaka gitu. Tapi saya gak nemuin novel yang mengisahkan tentang masa-masa mereka. Sekedar mengingatkan, urutan para raja dari Dinasti Rajasa pada masa Singasari sebagai berikut Kisah selanjutnya yang saya temukan adalah masa akhir pemerintahan Prabu Kertanegara. Ini tentunya buku-buku karya pengarang yang agak-agak baruan, ya.. Kalo buku-buku cerita silat jaman-jaman bacaannya ayah saya kayak Ko Ping Ho mah saya angkat tangan dulu, dah! Belum sanggup bacanya soalnya baru buka buku aja muka kok gatel-gatel, ya? Kenapa saya menulis The Rise of Majapahit duluan? Well, soalnya saya dapetin buku ini duluan, sederhana saja. Karena sebenarnya saya membelinya pada hari yang sama. Namun karena yang satu saya beli dalam bentuk ebook sementara yang satu lagi saya membelinya online dari sebuah toko buku di pulau Sumatera. Maka, ya, jelas mana yang duluan yang saya baca. The Rise of Majapahit Jika kita lemah maka kekayaan kita akan berpindah tangan ke negeri lain. Bisa serentak atau perlahan-lahan secara halus dan tidak terasa! Yang paling celaka adalah apabila negeri lain bekerjasama dengan orang kita sendiri. Orang yang demikian adalah penghianat negeri. Kepalanya layak dipenggal! Kisah diawali dengan datangnya Laksamana Meng Khi, utusan Khubilai Khan dari Mongolia yang belum apa-apa sudah bikin Prabu Kertanegara kesal. Pasalnya dia datang dengan tanpa pemberitahuan dan ingin segera bertemu. Saat menghadap, kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya membuat ruangan hening. Salam Hormat Raja Sri Kertanegara yang agung. Kami adalah utusan Yang Mulia Kaisar Kubilai Khan dari Mongolia yang menguasai jagat raya ini.’ Gila, menguasai jagat raya, cuuuy! Kebayang, gak, sih? Saya aja sewot banget rasanya ngebayangin itu si Meng Khi ngoceh. Lah pagimane Kertanegara? Mana isi suratnya tambah nyebelin. Yang Mulia Prabu Sri Kertanegara. Kami dari kekaisaran Mongolia yang menguasai seluruh jagat raya ini memerintahkan kepada Yang Mulia beserta seluruh rakyat negeri Singosari untuk segera mengirimkan seorang pangeran ke negeri kami menyampaikan pernyataan tunduk dan mengirimkan upeti senilai 60 ribu tahil emas setiap tahun sebagai tanda takluk dan mengakui kekuasaan Kekaisaran Mongolia Beuh! Raja Kertanegara di buku ini orangnya angker, men! Saya suka saya suka! Gak banyak ngomong walaupun beliau murka. Dengan terlihat tenang beliau bangkit dari damparnya singgasana dan melangkah mendekati Meng Khi. Menurut penulisnya, langkahnya ini seakan melayang lalu semakin lama semakin lebar dan mulai terdengar tapak kakinya. Aroma rempah menyibak dari tubuhnya yang terhembus udara. Semakin dekat langkahnya, tangan Kertanegara mulai memegang keris dari pinggangnya yang pas ditarik, bau warangan arsenic tercium tajam. Tapi, terlambat. Saat Meng Khi sadar, keris di tangan kanan Kertanegara sudah menyabet dan memutus telinganya. Langsung diusir itu Meng Khi! Kubilai Khan menganggap ini sebagai penghinaan dan segera bersiap-siap untuk menginvasi Jawa. Singasari yang dalam keadaan lemah saat sebagian besar armadanya dikirim untuk Ekspedisi Pamalayu ke Sumatera masih harus digrecoki oleh pemberontakan Gelang-Gelang, sebuah kerajaan bawahan yang pada saat itu dipimpin oleh Prabu Jayakatwang. Nah, hubungan antara Jayakatwang pada Kertanegara ini ruwet pisan! Yah, walaupun gak seruwet jalanan ibukota negara Indonesia. Jayakatwang Jayakatwang sebenarnya itu ipar tapi juga sekaligus besan dari Kertanegara. Tapiii, leluhurnya Jayakatwang yaitu Prabu Kertajaya dulu dikalahin sama leluhurnya Kertanegara yaitu Arok. Jayakatwang gak bisa move on dari itu. Kalo di buku Sendyakala Rajawangsa, bukan Cuma Jayakatwang, seluruh warga Gelang-Gelang belum move on dari itu! Sesuai dengan kisah yang ada buku-buku sejarah kalau Anda ingat pelajaran di buku sejarah jaman sekolah dulu yang sama sekali gak seru itu Jayakatwang menyerbu Singasari. Istana dikeroyok pasukan Gelang-Gelang! Satu persatu Bhayangkara dan perwira tewas. Kertanegara tentunya melawan dan menolak untuk menyerah sampai jatuh bersimbah darah dan menghambuskan nafas terakhir. Puteri-puteri Kertanegara pun bertarung sebisa mereka. Waduh, pikiran saya tentang puteri raja yang cantik lemah lembut senantiasa luluran dan menari itu langsung buyar rasanya pas baca adegan Princess Tribhuaneswari lompat sejarak tombak tepat diatas pedang demi melindungi adik-adiknya. Kalungnya putus kena sabet pedang yang kalo dia gak cepat, yaudah lehernya yang putus. Di saat yang sama, cundrik keris kecil beracun di tangannya menyobek perut prajurit Gelang-Gelang. Beuh, Tribuaneswari meni edan-edanan menyelamatkan dirinya dan adik-adiknya untuk keluar dari istana. Tapi begitu ketemu suaminya, langsung lemes dan dibimbing untuk naik kuda. Eh? Gimana tadi? Gayatri yang dalam pikiran saya selalu botak…maksudnya udah jadi biksu yang sangaaaaat bijaksana, kali ini wujudnya masih muda dan seorang kutubuku garis keras! Bayangin aja, dia murka minta ampun saat denger keributan diluar yang mengganggunya baca Tak tega ketenangannya membaca terganggu, cundrik beracun di tangan kanannya merobek pipi kiri prajurit Gelang-Gelang yang akan menangkapnya. Gerakan kedua cundrik itu menancap di perut musuhnya hingga roboh halaman 98 Yaaa, saya juga sih suka kesel banget kalo lagi asik baca diganggu orang. Tapi gak sampai segitunya juga! Sabar, ya, Mbak. Sabar. Emang orang Gelang-Gelang suka gitu. Untung dia nantinya jadi istri raja. Coba kalo jadi PNS kerja di perpustakaan SD. Bisa abis anak-anak sama dia. Singasari runtuh. Raden Wijaya, yang merupakan pewaris tahta sekaligus menantu Kertanegara berhasil melarikan diri bersama Thribuaneswari, permaisurinya. Mereka bersama para prajurit yang setia pun menyusun rencana untuk merebut kembali tahta Singasari. Majapahit Sandyakala Rajawangsa Cerita diawali dengan tibanya rombongan Patih Raganata, Raden Wijaya, dan Gayatri di wilayah kerajaan Kediri Gelang-Gelang. Sebenarnya ini adalah rombongan yang diutus oleh Prabu Kertanegara untuk nglanglang. Pasalnya di pasewakan, Prabu kertanegara selalu mendapatkan laporan dari para penguasa wilayah bahwa seluruh rakyat dalam keadaan sejahtera dan tentram. Maka untuk memastikannya, Sang Prabu mengirim pasukannya untuk mencaritahu kebenaran berita tersebut. Dan memang kenyataannya, apa yang dilaporkan para penguasa wilayah tidak sepenuhnya benar. Rakyat kebanyakan dalam keadaan miskin dan itu pun diperparah dengan berbagai perampokan yang terjadi di sana sini. Namun apa yang Raden Wijaya temukan di Kediri jauh lebih meresahkan hati. Beberapa hal membuat Raden Wijaya dan Patih Raganata mencurigai bahwa saat ini Kediri sedang dalam persiapan untuk melakukan makar terhadap Singasari. Sementara itu, bagi Gusti Putri Gayatri, yang meresahkan justru karena dia menemukan bahwa adik bungsunya, Gusti Putri Narendradewi yang dinikahi oleh Ardaraja putera Jayakatwang dalam keadaan tersiksa di istana Kediri. Tidak hanya suaminya yang ternyata suka menghajarnya, namun juga seluruh kerabat istana ikut menyiksanya secara psikis dan emosional. Pada saat itu Gayatri dengan tegas memutuskan untuk membawa pulang Narendradewi kembali ke istana Singasari. Sementara itu di Singasari, Prabu Kertanegara sedang galau. Pasalnya Wiswarupa Kumara, puteranya satu-satunya, menolak tahta karena ingin menjadi biksu. *** Nusantara harus kuat dan bersatu untuk melawan kekuatan dari utara yang ingin menguasainya dan juga negeri lain yang mempunyai niat sama. Mereka ingin merampas seluruh harta kekayaan kita. Mereka ingin menguasai kedaulatan tanah air kita! Tidak hanya saat ini tetapi ancaman itu bahkan akan terus ada hingga pada masa anak cucu kita nanti Setyo Wardoyo via Kertanegara, The Rise of Majapahit Kalau di buku The Rise of Majapahit kita seakan nonton film yang sangat seru dari awal sampai akhir. Kisah berjalan mengikuti petualangannya Raden Wijaya bersama Tribhuaneswari dalam upaya merebut kembali tahta Singasari, dalam Sandyakala Rajawangsa kisah lebih dielaborasi lagi. Pada awalnya saya agak kesulitan mengikuti ritme cerita yang tiba-tiba melambat sampai rasanya gak sabar nungguin Meng Khi nyampe istana. Lama-kelamaan, saya bisa menikmatinya. Sandyakala Rajawangsa mengajak kita untuk seakan masuk ke masa akhir kerajaan Singasari. Pak Langit Kresna Hariadi banyak mendeskripsikan bagaimana kehidupan pada masa tersebut, bermacam senjata dan penggunaannya, makanan, pakaian dan kepercayaan masyarakat. Kita juga diajak masuk ke dalam rumah tangga raja yang diperlihatkan gak jauh beda dengan rumah tangga semua orang. Kertanegara di Sandyakala Rajawangsa bukan hanya raja, tapi juga seorang suami dan ayah yang sama seperti semua ayah di dunia ini jika harus mengalami hal sepertinya kecewa karena puteranya menolak untuk mewarisi tanggungjawab emangnya lo pikir bokap lo punya pilihan? Kesel gw! Jadi anak laki gitu amat. Bukannya bantuin ayah ngurus negara belain dan jagain adek-adeknya eh malah dia pergi, kaget dan marah saat tahu puterinya diperlakukan jahat oleh menantu dan besan, sekaligus khawatir akan keselamatan empat puterinya yang lain. Dalam beberapa hal, kisah di dua novel ini seakan-akan mengisahkan dua hal yang sangat berbeda. Salah satunya adalah karena penokohannya. Sosok Kertanegara yang angker tapi melindungi kayak Justice Bao tau-tau ambyar berubah jadi King Robert of Baratheon yang kebanyakan galaunya. Tribhuaneswari yang tadinya saya ngebayangin kayak Princess Merida di film animasi Brave pendekar panah yang edan-edanan melindungi adik-adiknya di sini jadi puteri raja yang biasa dimanja mengeluh kecapean jalan. Gayatri yang pandai membaca sekarang jadi pandai menari. Prajnaparamita yang konon ini adalah sosok Gayatri Jadi gini, ya.. Gayatri Rajapatni itu nantinya jadi tokoh yang berpengaruh. Dia orang yang berada dibalik Prabu Putri Tribuwanatunggadewi, orang yang memegang pemerintahan sementara saat Jayanegara tewas, orang dibalik karir politik Gajah Mada dan Adityawarman. Bahkan bisa dibilang, dialah orang dibalik kejayaan Majapahit! Itu kan sudah jelas ini cewek waktu masih muda pandai membaca bukan pandai menari! Gak rela! Beberapa tokoh malah penggambarannya jauh bener! Seperti Ardaraja, sosok menantu Kertanegara yang di The Rise of Majapahit digambarkan sebagai tokoh yang rada galau mau mihak siapa tapi bisa dimengerti. Yaa, kalo ayah lo nyerang mertua, lo mau ngebelain siapa, hayo? Pada akhir kisah, saya kasihan sama Ardaraja yang ditawan oleh bangsa Mongolia. Kemudian saya membaca Sandyakala Rajawangsa, rasa kasihan saya hilang tanpa sisa! Sosok Ardaraja yang peragu di buku ini berubah menjadi laki-laki yang abusive tapi lemah. Mungkin kerasukan roh Kalagemet. Eh, Kalagemet belum lahir! Patih Gelang-Gelang Mahisa Mundarang yang tadinya keren. Iya, iya…dia di pihak yang jahat tapi lumayan keren kok orangnya. Eh, tau-tau jadi sosok yang…ngngng..saya sebenernya bingung sih kalau ketemu sama ini orang di dunia Sandyakala Rajawangsa apa mau gemetar ketakutan apa ketawa ngakak, ya… Kejam sih, tapi sial mulu! Mungkin dari awal memang dunianya berbeda. The Rise of Majapahit seakan-akan mungkin karena kebetulan saja bacanya urut sih kelanjutan dari Arok Dedes. Penerjemahan kisah menjejak di dunia nyata. Gak ada embel-embel mantra, hantu, atau yang seperti itu. Sementara pada Sandyakala Rajawangsa itu dunia Keris Empu Gandring. Macem-macem ajalah kejadian dan kemampuan orang-orang yang aneh-aneh! Ada orang bisa mengendalikan angin, lah! Tau-tau Kertanegara lagi jalan didepannya lewat pasukan hantu segala. Jadi, dua buku ini sama-sama keren! Kalau mau baca kisah jatuhnya Singasari sampai berdirinya Majapahit yang bener-bener focus tentang itu ya baca The Rise of Majapahit. Novel sejarah yang gak ngebosenin dan bahkan seru karena sebagian besar kisah memang terus-terusan perang, perkelahian, dan intrik. Tapi kalau pengen melihat-lihat menikmati pemandangan senja di bumi Singasari ya sesuai judulnya, baca Sandyakala Rajawangsa. Saran saya sih, baca dua-duanya aja. 0% found this document useful 0 votes55 views3 pagesOriginal TitleCerita sejarah majapahitCopyright© © All Rights ReservedShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes55 views3 pagesCerita Sejarah MajapahitOriginal TitleCerita sejarah majapahit Oucub ? gogpgaet? [gfcyglgbg ^gogsgwgfjsg gogpgaet 7]hfubes ? Bgfjet Lrhsfg Agregce]hfhrnet ? Nhftgfj ]ustglgSgauf khtglgf ? >=7>Ohfes ? ]gphrngkl E[NF ? 514=>1177177^gtefj ? ;,8/8[gyg sgfjgt `hfyulge shre Jgoga gcg cgre ]gl BLA, tgpe shwgltu sgyg nhrfegt`hfjibhlsefyg, nhrsg`g shre Kgfce urkg, nulu-nulufyg lhngfyglgf sucga tecgl nhrhcgr bgje. [hwgltu efjef tgfyg-tgfyg lh ngpgl phfubesfyg bgfjsufj thftgfj lhcugshre thrshnut, sgyg `hfh`ulgf lgbgu BLA thrfygtg `hfhrnetlgf shre thrngrufyg,gogpgaet. Lgrhfg sgyg sulg Jgoga gcg, sgfj `gagpgtea gogpgaet etu, `glg sgyg oujg ogce nhr`efgt pgcg shre ngru efe lgrhfg phfgsgrgf lesga gpg ygfj glgf ceusufjibhafyg, `hfjefjgt shphrtefyg lifcese lhrgoggf gogpgaet sucga kulup ngfygl thrlgvhr cgbg` shre Jgoga gcg. Ogce, ce`ubge cgre `gfglga lesga lhrgoggf thrnhsgr Efcifhseg efe9 gsg Lhogtuagf Lhrgoggf [efjgsgre Secgl shphrte cgbg` shre Jgoga gcg ygfj nhrdilus pgcg gogpgaet shbg`g `gsg gnceJgoga gcg cgre shngtgs lhpgbg pgsulgf Nagygfjlgrg aefjjg `hfogce `gagpgtea, shregogpgaet thrfygtg ce`ubge cgre `gsg glaer Lhrgoggf [efjgsgre sggt nhrgcg cgbg`lhlugsggf ^gog Lhrtgfhjgrg. [hphrte ygfj letg tgau-u`u`fyg cgbg` phbgogrgfshogrga ce shlibga-ngawg Lhrgoggf [efjgsgre cecerelgf ibha Lhf Gril shthbga ceg nhragseb `hfogtualgf ^gog Lhrtgogyg cgf `hfjugsge efe ce`ubge chfjgf phrogbgfgf ^gchf Zeogyg, lhpifglgf cgf kgbif `hfgftucgre ^gog Lhrtgfhjgrg, nhrsg`g `gagpgtea [efjgsgre, ^gjgfgtg, lh fhjhre Jhbgfj- Jhbgfj, ygfj oujg cubufyg celhtgaue shngjge Lhrgoggf Lhcere. ^gchf Zeogyg cgf^gjgfgtg `hfyhfjgoglgf `g`per lh Jgfthr, th`pgt throgcefyg phrgfj nhrcgrga gftgrgLhcere cgf Su`gphb pgcg `gsg Lhf Gril. Ce sgfg `hrhlg `hfyglselgf ph`gfcgfjgf ygfj ce bugr glgb shagt, nhrupg shpgsulgf lucg agftu cgf oujg agftubg`pir ygfj nhrbifkgtgf. ]h`gfcgfjgf etu `hfogce dergsgt nurul ngje phrogbgfgf^gchf Zeogyg lh Lhcere. Cgf `h`gfj shsg`pgefyg ce sgfg, ri`nifjgffyg sh`pgt`hfyglselgf pgjhbgrgf bgteagf phrgfj cgbg` slgbg ygfj nhjetu nhsgr. Nhjetu cethbesel,thrfygtg bgteagf phrgfj thrshnut gcgbga phrwuoucgf cgre rhfkgfg ph`nhriftglgfLhcere gtgs cgsgr chfcg` bg`g lhpgcg [efjgsgre. Ogyglgtwgfj , rgog Lhcere sggt etu, cgf pgteafyg, Lhni ufcgrgfj , shjhrg ce`eftg`hfjagcgp lh [efjgsgre shthbga rhfkgfg `hrhlg lhtgaugf. Fg`uf `hrhlg nhragsebthraefcgr cgre aulu`gf ygfj nhrgt lgrhfg stgtus Ogyglgtwgfj ygfj `hrupglgf shpupuepgr Lhrtgfhjgrg. Ogyglgtwgfj cgf Lhni ucgrgfj cenegrlgf pubgfj lh Lhcerechfjgf sygrgt `hrhlg agrus `hfyhrgalgf pgsulgf Lhcere nhftulgf `hrhlg uftul `h`ngftu [efjgsgre cgbg` Hlsphcese ]g`gbgyu. Sgpe thrfygtg aulu`gf phfgrelgflhlugtgf thrshnut tecgl `h`nugt Ogyglgtwgfj lhaebgfjgf glgb uftul `hbglsgfglgf ph`ngbgsgf chfcg` ce [efjgsgre, lhres pu Jgfcrefj ygfj thbga nhrpubua tgauf bgbu cebgrufj celgwga Jufufj ]hfgfjjufjgf, teng-teng lh`ngbe lh estgfg, `hfyhngrlgf dergsgt nurul ngje lhbgfjsufjgf lhrgoggf ceregf Lhf Gril thrshnut. ]h`nhriftglgf Ogyglgtwgfj Gwgbfyg, `hbeagt oucub shrefyg, gogpgaet, sgyg `hfjerg nulu efe glgf thrdilus pgcglhrgoggf gogpgaet, tgpe thrfygtg nulu phrtg`g efe sh`ugfyg thftgfj [ shnhfgrfyg, lgrhfg oucub nulu phrtg`g shre efe gcgbga [gfcyglgbg^gogsgwgfjsg-gtgu grte agrdegafyg gcgbga "shfog ngje lhbugrjg ^gogsg"-ogce tecgl `hfjahrgflgf oelg lesgafyg ce`ubge cgre lhogtuagf [efjgsgre. Agfyg sgog tgcefygsgyg `hfjerg, tecgl sg`pge shci`efgf efe-sg`pge sgtu nulu, cgf shphrtefyg nululhcug oujg `gsea thftgfj [efjgsgre.]bitfyg nhrogbgf bg`ngt, chfjgf gcg ngfygl sucut pgfcgfj ygfj lgcgfj thrgsg tecgl phrbu cgf lesga ygfj shibga `hbi`pgt-bi`pgt. [ucut pgfcgfj nesg chfjgf `ucga nhrunga-unga cgbg` sgtu ngn, shphrte ce gwgb ce`ubge chfjgf sucut pgfcgfj ^gchfZeogyg, teng-teng nhrpefcga lh ph`elergf ^gjgfgtg, cgf nesg teng-teng nhrpefcga lhirgfj bgef bgje. Khretg puf lgcgfj thrlhsgf tecgl dilus. Glgf shrefj ceth`ulgf sggtsugtu skhfh thfjga `h`ngags thftgfj ph`nhriftglgf Lhcere, sucut pgfcgfj glgf nhrpefcga lhpgcg shshirgfj ygfj `ubge `hbgftur thftgfj kgftelfyg putre-putre ^ efe `h`gfj throgce ag`per ce shburua khretg nugtgf BLA, ogce`ufjlef sucga wgogr ngje ygfj `hfjelute phfubesgf shfcere oujg `gsea ceth`ue nhnhrgpg lhlgjilgf ygfj sucgashrefjlgbe ceth`ulgf-cgf celi`hftgre-cgbg` lgryg-lgryg shnhbu`fyg. Gcg ngfygl drgsg ygfj ceubgfj-ubgfj uftul `hfohbgslgf sugtu h`ise/glse, shphrte drgsg "cgcg nhrjh`urua" uftul `hfohbgslgf g`grga, gtgu drgsg "tgfga nhrjifkgfj" uftul `hfohbgslgf shsugtu ygfj `hfjjh`pgrlgf. Agb efe `hfogcelgf phfubesgf thrlhsgflglu cgf tecgl hbgnirgted. [hbgef etu, BLA oujg `h`ebele lhkhfchrufjgf uftul `hfohbgslgf bgje agb ygfj thbga ceohbgslgf ce ngn shnhbu`fyg, gtgu ngalgf ce nhnhrgpg agbg`gf shnhbu`fyg, aefjjg lgcgfj `g`pu `hfe`nublgf lhnisgfgf shrtglhsgf ` chfjgf shre Jgoga gcg-shre bgef BLA ygfj sgyg elute-shre gogpgaetefe bhnea thrgsg "lbhfel"-fyg. Oelg shre Jgoga gcg phfua chfjgf ourus-ourus sebgt, pibetel, cgf tgltel phrgfj ygfj lhrhf, shre gogpgaet, shtecglfyg cgbg` nulu phrtg`gefe, bhnea ngfygl nhrnekgrg thftgfj agftu-agftu, tglagyub, cgf goe-goe `gjes shphrteserhp cgf lhlugtgf uftul aecup gngce. Nesg ogce agb efe lgrhfg `h`gfj lesga thftgfjlhrgoggf shnhbu` gogpgaet tecgl `h`ebele cgtg ygfj ngfygl, shrtg su`nhrfyg `gseaagfyg cgre letgn ]grgrgtif sgog-ygfj `h`gfj phfua chfjgf fugfsg `estes.[h`hftgrg cgbg` `gsg gogpgaet gcg su`nhr cgre Fhjgrglhrtgjg`g ygfj lifif

cerita sejarah majapahit sandyakala rajasawangsa